“Tangan kanan Tuhan telah memperlihatkan kekuatan. Tangan kanan Tuhan telah membimbingku (Mzm 118:1,8-9,21-23,26,28cd;Ul:22)”
Pengalaman hidup berjalan seiring berjalannya waktu, berjalan dari titik ke titik bergantian. Kekuatan waktu membawa kita kepada hal yang telah kita rencanakan maupun pada titik yang tidak kita rencanakan. Bahkan tanpa sadar kita bisa saja telah sampai pada titik tertentu yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Ada waktunya kita sampai pada titik dimana kebahagiaan menguasai hati, mana kala keberhasilan tiba, harapan terpenuhi dan banyak orang yang mendukung serta menerima keberadaan kita. Sebaliknya, akan tiba pula waktu dimana kita sampai pada titik kejatuhan. Pada umumnya, manusia akan lebih membutuhkan kehadiran Tuhan dimasa kejatuhan tersebut. Kata-kata “tolong Tuhan, bantu saya Tuhan, kasihani aku Tuhan” diulang-ulang dalam doa. Adakah yang salah dengan kata-kata tersebut? Tentu saja tidak. Pada masa inilah kita biasanya dapat lebih mengenal diri sendiri. Mengetahui keterbatasan diri dan membutuhkan uluran tangan untuk sekedar berdiri. Mengalami berbagai hal dari waktu ke waktu dan variasi perasaan yang silih berganti menanamkan buah-buah atau nilai kehidupan yang berbeda-beda pula. Saatnya akan tiba memberi dan tiba pula untuk menerima. Tiba waktunya kita menangis maka tiba pula kita akan tertawa. Tiba saatnya kita datang maka tiba pula waktunya kita pergi. Tiba waktunya kita sakit maka tiba pula waktunya sehat. Tiba waktunya kita diterima maka tiba pula waktunya kita ditolak. Semua seumpama dua sisi uang logam, ketika digunakan untuk mengundi terdapat dua sisi yang akan muncul bergantian.
Hidup ini terdiri atas sisi-sisi yang akan muncul berdasarkan pilihan yang kita tetapkan. Pilihan menentukan sisi apa yang akan kita dapatkan. Bilamana kita berani untuk memilih maka disaat yang sama kita harus menyiapkan diri atas segala kemungkinan serta konsekuensi yang mendampingi pilihan tersebut. Disanalah kita sebagai manusia membutuhkan uluran tangan Tuhan untuk menuntun dan mengarahkan kita agar tidak salah menjalankan pilihan. Suatu saat seorang kenalan menceritakan pengalaman hidupnya ketika mengalami sebuah permasalahan hidup, masa-masa ketika dia merasa Tuhan tidak adil. Tuhan memberi permasalahan bertubi-tubi, tuduhan-tuduhan datang, orang yang diharapkan bisa menguatkan malah balik menghianati. Disaat kejatuhan itu, hidupnya terasa kurang berharga serta menganggap keberadaannya kurang diterima. Ketika dia mulai berdoa, dia melihat sebuah tangan terulur menyentuhnya. Dia yakin itu adalah tangan Tuhan yang menyejukkan. Tangan Tuhan yang mengelus kepala dan mengatakan, “tenanglah semua akan selesai.” Namun keesokan harinya yang terjadi adalah lagi-lagi berita buruk bahkan semakin buruk. Hati mulai menuntut dengan berkata, “kenapa Tuhan? Engkau berkata agar saya harus tenang tapi ini semakin parah. Tolong aku Tuhan!”. Sesaat muncul keraguan dan penolakan akan situasi yang tidak sesuai harapan. Sampai batas ini, apakah dia lalu berhenti? Ternyata dia tidak berhenti pada titik kekecewaan itu, muncul kesadaran dalam hatinya bahwa tak ada lagi yang dapat dipercaya kecuali Tuhan. Diantara yang tak dapat dipercaya, Tuhan merupakan pilihan terbaik untuk dimenanamkan harapan. Inilah yang kemudian menguatkannya untuk tetap berjuang dan mempercayakan masalah besar yang sedang dihadapinya sebab Tuhan jauh lebih besar dari masalah itu.
“Tangan kanan Tuhan telah memperlihatkan kekuatan.”
Kutipan refrain Mazmur tanggapan ini terus menerus saya senandungkan dalam hati ketika menuliskan renungan ini. Tuhan mengulurkan tangan untuk menunjukkan kuasa dan menjadikan semua lebih baik lagi. Bukan sekedar berjalan sesuai rencana manusia tetapi jauh lebih besar dan begitu misterius, namun berbuah kebahagian yang lebih besar pula. Banyak hal yang belum mampu kita selami dari rencana Tuhan tersebut. Banyak hal yang tidak dapat kita perkirakan namun pada akhirnya kita sampai dititik itu.
“Maka aku tak akan takut, karena Tuhan besertaku. “
Tuhan pasti menuntun kita menuju pintu keluar dari setiap masalah, karena Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk itu. Masalah itu sebenarnya hadir beriringan dengan solusinya, seperti halnya gembok dibuat dengan kuncinya. Kita diajak pula untuk meyakini bahwa selalu ada jalan menuju penyelesaian apabila kita berpegang pada tangan yang benar yakni tangan Tuhan. Tangan kanan Tuhan menjadi pegangan kita entah itu dalam situasi bermasalah ataupun dalam situasi tidak bermasalah. Disaat mengalami masalah, kita tidak sibuk menyalahkan mereka, dia, ini dan itu. Menyalahkan tidak akan menghasilkan sebuah penyelesaian, sebaliknya kadang semakin memperkeruh suasana. Hati yang cepat menyalahkan adalah cerminan hati yang tidak tenang dan damai. Selain menyakiti orang lain, menyalahkan bisa saja malah menimbulkan reaksi buruk dari orang yang disalahkan karena pada dasarnya manusia sulit menerima ketika dipersalahkan. Sikap menyalahkan itu merupakan sikap spontan manusia ketika situasi tidak sesuai dengan harapan. Bukankah lebih mudah menyalahkan orang lain, menuduh orang lain dan membicarakan keburukan orang lain dari pada melihat kesalahan dalam diri sendiri? Manusia cenderung mudah memaafkan diri sendiri dan sangat sulit memaafkan orang lain. Inilah sifat-sifat yang membuat manusia semakin jauh dari tangan Tuhan yang selalu terulur untuk menuntun. Manusia lebih senang berpegang pada tangannya sendiri atau berpegang pada hal-hal yang mereka anggap lebih nyaman dan menyenangkan walau mereka tau itu bersifat sementara. Kita sering menganggap diri masih akan hidup selama yang kita inginkan. Merasa berhak menghakimi sesama yang melakukan kesalahan. Merasa wajar menceritakan keburukan sesama yang berbeda pendapat.
Suatu waktu akan tiba saatnya kita berada dititik terendah dalam hidup. Merasa tidak berdaya dan tidak berharga. Di saat-saat seperti ini, keinginan untuk menyalahkan orang lain semakin besar dibandingkan keinginan untuk mendorong diri tetap berjalan, meraih tangan Tuhan untuk kembali melangkah serta keluar dari kegelapan hidup yang dihadapi. Kita memang lebih mudah menuduh orang lain sebagai dalang atas situasi buruknya lalu hanya fokus pada masalah yang saat ini dihadapi. Masalah menjadi sangat sulit dilalui dengan menganggap Tuhan sedang menghukum, menjatuhkan dan membuang kita. Sementara yang kita butuhkan sebenarnya adalah fokus untuk mencari solusi, mencari alternatif untuk membangun kembali hidup yang sempat jatuh dan mendorong diri belajar dari pengalaman jatuh tersebut. Dalam teori tentang nilai hidup, kita mengakui bahwa sebuah pisau yang tajam harus rajin diasah agar dapat digunakan terus menerus dengan ketajaman yang sama atau bahkan lebih tajam lagi. Adapula pernyataan yang selalu kita disetujui, yaitu emas akan semakin murni jika dipanaskan dengan suhu yang amat sangat tinggi. Namun jika diaplikasikan dalam hidup sehari-hari kita lebih ingin hidup enak-enak tanpa ditempah namun ingin hasil yang fantastis. Hal ini hanya mimpi belaka. Keberhasilan harus diraih, kebahagiaan harus dibentuk bahkan dari hal yang paling kecil sekalipun. Segala yang baik harus diusahakan dan diperjuangkan. Tuhan tidak pernah menjatuhkan hujan uang dari langit bagi si miskin yang berdoa meminta rahmat karena membutuhkan uang untuk makan. Tuhan menunjukkan jalan bagi siapapun untuk memenuhi apa yang mereka minta dalam doa. Disanalah tangan Tuhan terulur dan menuntun. Apakah kita mau meraih tangan itu untuk berjalan atau kita tetap bertindak serta mengandalkan kekuatan manusiawi adalah pilihan kita sendiri.
Tangan kanan Tuhan tetap terulur, entah kita melihatnya atau tidak, entah kita meraihnya atau tidak. Tangan itu memberkati, meneguhkan, menuntun, menguatkan, bahkan menyentuh dengan lembut untuk meyakinkan bahwa kita tidak sendiri dalam suka maupun duka.
Mari kita peka akan uluran tangan itu agar ketika tangan itu terulur kita tidak meraih tangan yang salah. Tangan Tuhan itu lembuh, meneguhkan dan mendamaikan. Tangan yang dapat dilihat dengan mata iman, cinta yang murni dan harapan yang teguh.
“Ya Tuhan, tambahkanlah iman kami agar mampu melihat uluran tanganMu ketika kami menjalani kehidupan ini. Amin” ~ Sr.M. Zita Manalu FSE