Virtual Choir Suster FSE: Hymne Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE)
Sejarah Singkat Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE)
Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth didirikan tanggal 1 Agustus 1880 di Breda oleh Sr.M. Mathilda Leenders dengan nama baptis Wihelmina Leenders lahir di Nijmegen Belanda tanggal 21 Desember 1825 dari pasangan Adrianus Leenders dan Getrude Saes. Pada Usia 24 tahun,
tepatnya tanggal 12 september 1849, ia bergabung dengan suster- suster Alles voor Allen (segalanya untuk semua) yang juga di kenal sebagai biara Maria Mater Dei, dengan nama biara Sr.M. Mathilda Leenders. Tanggal 26 Oktober 1851 suster yang masih muda ini mengikrarkan kaul kekal.
Pada tahun 1922 Mgr. Mathias Brans, pemimpin misi OFM Cap yang berpusat di Sumatera Barat, Padang bermaksud mengembangkan misi katolik di bidang pelayanan kesehatan di Sumatera Utara Medan. Atas permintaan Pastor H.A.F.M de Wolff OFM Cap, yang sangat menginginkan kehadiran perawat katolik khususnya biarawati untuk bekerja sama di rumah sakit umum milik pemerintah.
Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya tanggal 16 Juli 1924 diputuskan 4 suster yaitu: Sr.M. Pia van Blaricum, Sr.M. Philotea Biemans, Sr.M. Gonzaga Van Gorp dan Sr.M. Antoinette Plug di utus ke Indonesia.
Mereke bertolak dari Belanda tanggal 29 Agustus 1925 setelah berlayar satu bulan dengan kapal Johan de Witt yang mereka tumpangi merapat ke Belawan, Medan tanggal 29 September 1925.
Para suster, pertama kali tinggal di satu rumah kontrakan sederhana di Jl. Wasir No. 8 (sekarang Jl. Kolonel Sugiono Medan).
Dari hari ke hari banyak tantangan yang dihadapi, namun mereka tetap melakukan apa saja yang bisa membantu orang-orang sakit. Mereka bersedia dipanggil melayani ke mana saja, bahkan bila dibutuhkan mereka tidak enggan mendatangi dan merawat orang sakit dari rumah ke rumah. Kehadiran dan pelayanan seperti itu sangat dibutuhkan masyarakat, para suster sering dipanggil dan selalu siap-siaga untuk dipanggil, kapan dan ke mana saja. Banyak orang-orang sakit datang, hingga suster-suster ini hampir kehabisan waktu mulai pagi sampai malam harinya. Pada malam hari mereka berkumpul dan bersatu menimba kekuatan dari kebersamaan yang akrab di komunitas. Ditengah-tengah kesibukan yang demikian itu mereka tetap setia membina relasi dengan Tuhan, entah itu lewat doa pribadi maupun doa bersama.
Setelah 8 bulan, pelayanan semakin menuntut sehingga rumah kontrakan tersebut dirasa kurang memadai. Maka suster-suster membeli rumah di Jl. Padang Bulan (sekarang Jl. S. Parman). Rumah baru tersebut, meskipun sederhana tetapi cukup luas sehingga sebagian bisa digunakan untuk suster-suster (biara), dan sebagian lagi untuk penampungan orang sakit yang sedang dirawat.
Pada kesempatan kunjungan Moeder Asisia (Pemimpin Para Suster waktu itu) tahun 1928, muncul rencana untuk mendirikan Rumah Sakit. Dalam waktu yang relatif singkat persiapan untuk itu segera dilaksanakan. Daerah Polonia dipilih sebagai daerah paling strategis, karena berada di jantung kota dan daerahnya cukup luas untuk pengembangan selanjutnya.
Prosesnya sangat singkat, 11 Februari 1929 pembangunan Rumah Sakit dimulai dengan peletakan batu pertama.
Setelah peletakan batu pertama selesai, Moeder Assisia kembali ke negeri Belanda, dan secara bertahap mengutus para misionaris baru ke Indonesia. Pada bulan Mei 1930 bangunan rumah sakit hampir selesai dan sebagian sudah dapat digunakan, sambil tetap dilakukan pembenahan di sana-sini. Rumah sakit baru selesai seluruhnya pada bulan November 1930. Namun, dalam prakteknya sejak Mei 1930 rumah sakit baru ini sudah menerima pasien rawat inap sebanyak 25 (duapuluh lima) orang. Tanggal 19 November 1930 rumah sakit tersebut diberkati dan dibuka secara resmi oleh P. Doomen. Sejak peresmian rumah sakit ini, semua suster pindah dari Padang Bulan dan tinggal di rumah suster Jl. Imam Bonjol 38, yang dibangun di kompleks rumah sakit (hanya dibatasi oleh dinding). Sampai sekarang rumah tersebut menjadi rumah Induk FSE di Indonesia.
Pada acara peresmian rumah sakit, semua orang tidak yakin bahwa para biarawati itu, sanggup mengelola rumah sakit yang cukup bagus dan besar pada zamannya. Mereka sangsi dan bertanya-tanya; “Apalah yang dapat dilakukan para perempuan ini ??? Apakah mereka sanggup meneruskannya kelak ???” Memang, apalah daya manusia, apalagi perempuan. Namun mereka tidak berputus asa mendengar komentar-komentar sumbang yang meragukan kemampuan mereka, justru semakin optimis untuk maju dengan mempercayakan segala sesuatunya pada Penyelenggaraan Ilahi. Apalagi setelah dr. Stohl, yang diangkat sebagai pemimpin rumah sakit (istilah direktur pada waktu itu belum ada), dengan yakin mengatakan “Sepanjang pengetahuan saya belum pernah ada Rumah Sakit Katolik yang bangkrut”.
Keyakinan para hamba Tuhan ini sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Karena mereka sudah berpengalaman di bidang kesehatan terutama mengelola rumah sakit, sehingga pengelolaan rumah sakit baru ini berjalan dengan baik dan berkembang terus.
Tahun 1933 Moeder Assisia untuk kedua kalinya datang kunjungan ke Indonesia. Kunjungan ini sangat berarti bagi seluruh kongregasi, karena membawa suatu perubahan besar. Sr.Pia yang sudah 9 (sembilan) tahun menjadi moeder (pemimpin) digantikan oleh Sr. Isfrida, suster yang termuda di komunitas saat itu. (Sr. Isfrida menjadi pemimpin sampai pendudukan Jepang, sekitar tahun 1946).
Melihat perkembangan kongregasi di Indonesia, pimpinan memutuskan bahwa cabang kongregasi FSE di Indonesia sudah layak menjadi regio tersendiri. Maka tahun 1970 dilaksanakan kapitel regio pertama di Indonesia, dengan pemimpin Sr.M. Paulin Molenkamp FSE. pada tahun 1976, pemimpin regio langsung dipercayakan kepada suster pribumi, yakni Sr.M. Albertha Sihombing FSE.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan kongregasi maka pada tanggal 17 November 2000 Kongregasi FSE menjadi otonom dan bertingkat keuskupan.
Demikian sejarah singkat perjalanan kongregasi FSE dengan berbagai pengalaman jatuh bangun bersama Yesus yang setia mendampingi. Sejarah tidak pernah berhenti selama hayat di kandung badan, kongregasi senantiasa siap sedia diutus mewujudkan kharismanya, daya kasih Kristus yang menyembuhkan orang-orang kecil dan menderita sampai rela wafat di kayu salib untuk membangun kerajaan Allah lewat karya perutusan bersama Yesus sebagai penyembuh sesuai tuntutan zaman.