Kerendahan Hati Maria dalam Menghayati Salib

KERENDAHAN HATI MARIA

Filipi 2 :1-11
Lukas 1:26-38
Konst. Pasal 6. No.102-104

 

Ketaatan Bunda Maria kepada Allah yang terwujud dalam kerendahan hatinya menjadikan Maria sebagai model dalam kehidupan iman umat Perjanjian Baru. “Adapun Bapa yang penuh belaskasihan menghendaki, supaya penjelmaan Sabda didahulu oleh persetujuan dari pihak dia, yang telah ditetapkan menjadi Bunda-Nya. Dengan demikian, seperti dulu wanita mendatangkan maut, sekarang pun wanitalah yang mendatangkan kehidupan. “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya. Maut melalui Hawa, hidup melalui Maria” (Lumen Gentium 56).

Kerendahan hati yang lebih sempurna dapat kita temukan dalam cara hidup dari Sang Juru Selamat yang telah dikandung Perawan Maria. Dengan menjadi Anak Manusia, Ia ingin membangun sikap solider kepada ciptaanNya. Persatuan Bunda Maria dengan Puteranya dalam karya penyelamatan itu terungkap sejak saat Kristus dikandung oleh Santa Perawan hingga wafat-Nya (Lumen Gentium 57). Melalui refleksi Santo Paulus tentang “kenosis” atau pengosongan diri Allah, makna kerendahan hati itu bukan lagi hanya sekedar teori tetapi sudah menjadi realitas hidup seorang Anak Manusia yang rela mati di kayu salib demi kasihNya kepada manusia. Pada kesempatan berahmat ini, kita semua dipanggil untuk menghayati kerendahan hati Bunda Maria yang mengalir karena kesatuannya yang begitu mendalam dengan Putera Allah. Setiap  orang dipanggil kepada kekudusan dan salah satu tahapan untuk sampai kepada kukudusan itu kerendahan hati. Orang yang mempunyai keutamaan kerendahan hati hidupnya sendiri sudah “selesai” yaitu sampai kepada tingkat spiritualitas yang mendalam karena bukan lagi puja-puji manusia yang menjadi orientasi hidupnya tetapi kesatuan dan kedamaian sejati dengan Allah. Seperti kalimat orang kudus ini “hanya dengan kerendahan hatilah kita akan mengalami persatuan dan dari persatuan kepada kedamaian “(Santa Teresa Kalkuta).

Nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus (Flp. 2:1-11)

Dalam suratnya kepada umat di Filipi refleksi Paulus tentang kerendahan hati Yesus dituliskan dengan sangat indah dan seperti sebuah tesis teologi yang sangat mendalam, ditegaskan demikian, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh  pikiran  dan perasaan  yang  terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia“ (Flp 2:6-7). Teks ini bukan hanya menjadi nasehat bagi orang- orang yang ada di Filipi, tetapi Paulus sendiri secara radikal juga telah melaksanakan makna kerendahan hati Yesus itu dalam hidupnya.

Pada bagian awal dari suratnya kepada umat di Filipi kita mengerti bagaimana Paulus ingin mengungkapkan pengalaman imannya bahwa semua yang terjadi dalam dirinya semata karena Kristus. Ia yang pada awalnya adalah

orang kepercayaan para pemuka agama Yahudi yang nota bene menolak Yesus kini berbalik 180 derajat dengan menjadi pengikut Yesus yang militan. Dari pembenci Kristus menjadi pejuang kasih dan pembela iman akan Yesus. Akibatnya Paulus yang dulu menindas dan menangkap para pengikut Yesus dengan kejam, kini ia sendiri diburu dan ditangkap untuk akhirnya dijebloskan dalam penjara. Dalam situasi yang tidak mudah, bahkan saat di dalam penjara dia pun menghayati semua itu sebagai komitmen atas iman akan Yesus Kristus. Maka saat di penjara pun ia masih tetap menguatkan iman umat di Filipi dan dalam surat-suratnya dia sangat menekankan pentingnya umat di Filipi untuk tetap berjuang di tengah pergumulan iman yang tidak mudah, bahkan untuk semua kesulitan itu Paulus mengajak untuk melihat kesaksian hidupnya sendiri yang dipenjarakan itu sebagai peristiwa iman yang menguatkan iman jemaat.

Bagi Paulus setiap orang beriman yang menghayati hidup dalam Yesus dipanggil untuk selalu hidup dalam kesatuan dengan sesamanya. Paulus sudah menuliskan suratnya dengan begitu mendalam dan dalam bahasa yang sangat indah, “Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karen itu sempurnakanlah sukacitaku dengan dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Flp 2:1-4) Mengimani Kristus dalam kehidupan nyata bagi Paulus adalah menghayati kesatuan dengan Yesus dalam berbagai dimensi kehidupan baik dalam doa, ucapan syukur, kesaksian dan saling menguatkan dan akhirnya berani menyatukan hidup dengan Kristus dalam kesatuannya dengan komunitas Gereja yang adalah Tubuh Kristus.

Pemberitahuan tentang kelahiran Yesus (Lukas 1:26-38)

Kalau kita membandingkan bagian awal Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) kita akan menemukan kekhasan yang ada dalam Injil Lukas yaitu diawali dengan pendahuluan (Luk 1:1-4) dan dua pemberitahuan tentang tema yang sama yaitu tentang pemberitahuan kelahiran; baik pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes pembaptis (Luk 1:5-25), maupun pemberitahuan tentang kelahiran Yesus (Luk 1:26-38). Bagian berikutnya (Luk 1: 39-80) menjelaskan secara runtut tentang dampak dari pemberitahuan itu baik dalam diri zakharia, Elisabet dan Maria.

Dari segi struktur bagian awal Injil Lukas kelihatan lebih rapi dan sistematis dalam menjelaskan kisahnya dan hal ini hendak menegaskan refleksi penulis yaitu pentingnya mempersiapkan para pembacanya untuk melihat latar belakang kisah yang hendak ditampilkan sehingga tujuan injilnya dapat tercapai kepada semua pembaca. Dalam bagian pendahuluan Luk 1:1-4 kiranya kita bisa memotret secara singkat alasan kenapa Injil ini ditulis. Pada bagian pendahuluan ini  Lukas secara tidak langsung hendak menekankan siapa para penulis Injil itu yang sesungguhnya? Dan dengan refleksi yang mendalam ia menjawab para penulis Injil yang sesungguhnya adalah Saksi Mata dan Pelayan Firman. Para penulis Injil menuliskan refleksinya tentang ajaran yang benar dari Yesus karena mereka sungguh-sungguh mengalami hidup bersama dan menghayati ajaran kebenaran itu dengan hidup secara baik dan dengan penuh kesetiaan dalam iman. Demikian juga dengan pilihan kata yang dipilih penulis, ternyata juga memiliki bobot arti yang mendalam baik secara spiritualitas maupun teologis. Misalnya Kata “pemberitahuan” mengandung makna yang cukup mendalam karena di sini penulis Lukas hendak mengatakan bahwa pewahyuan yang terjadi itu tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi sudah sejak dulu Allah telah merencanakannya dan lebih dari itu menempatkan manusia sebagai partner/rekan kerja dari pewahyuan itu sendiri. Dari kata “pemberitahuan” ini juga mau menjelaskan bahwa ada struktur teks yang hendak menjelaskan bahwa ada subjek yang mengutus yaitu Allah, ada yang melakukan yang menjadi utusan yaitu malaikat dan ada yang menerima pesan yaitu manusia yang dalam hal ini diwakili oleh Zakharia, Elisabet dan Maria.

“Pemberitahuan” atau warta yang dibawa oleh Malaikat Gabriel kepada Maria tentang peristiwa pewahyuan tentu saja sangat mengejutkan hati Maria. “Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu” (Luk 1:28-29). Struktur yang sama sebenarnya juga terjadi dalam pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes Pembaptis dalam hal ini Zakharia dan Elisabet, namun “setidaknya” mereka sudah lebih siap menerima pemberitahuan itu, walaupun tetap saja bahwa pemberitahuan itu membuat mereka tidak percaya. Namun yang terjadi kepada Maria tentu saja berbeda karena faktanya dia belum menikah dan baru bertunangan dengan Yusuf, singkatnya ia belum berkeluarga. Situasi ini bagi bagi Maria adalah hal yang sangat tidak mudah, ia mencoba hidup baik dan menjaga kesucian hatinya, namun ketika ia mendapat tugas yang mulia namun faktanya nanti bertentangan dengan hukum atau adat istiadat yang ada tentu saja ini adalah perang batin yang dasyat.

Di satu sisi dia ingin taat kepada Allah, namun di sisi lain dia juga tahu apa konsekuensi sosial dari masyarakat di zamannya. Tentu dia akan mendapat sanksi sosial dari masyarakatnya, yaitu dikucilkan dan dianggap sebagai wanita yang tidak bisa menjaga kesucian diri dan adat istiadat leluhurnya. Dari bagian ini kita bisa melihat fakta bahwa bagi Maria, pemberitahuan tentang kelahiran Yesus sudah menjadi “salib”, namun ia harus memanggulnya sendiri bukan karena terpaksa atau takut namun dalam keheningan hidupnya kita bisa mengerti bahwa ia melakukan semua itu karena imannya yang besar yang terwujud dalam sikap kerendahan hati dan ketaatannya kepada Allah. Semua itu dirangkum dalam satu kalimat yang sangat terkenal yang disebut dengan Fiat Maria: “Sesungguhnya aku  ini  adalah  hamba  Tuhan;  jadilah  padaku  menurut  perkataanMu  itu” ( Luk.1:27).

Iman yang teguh dan kerendahan hati Bunda Maria ini adalah buah dari menghayati salib dalam hidupnya. Hal itu telah dimulai sejak peristiwa kabar gembira sampai akhirnya memuncak dalam peristiwa salib (penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus). Menariknya adalah dalam seluruh peristiwa penting kehidupan Yesus sosok Bunda Maria selalu hadir, ia selalu akan selalu ada untuk buah hatinya, bahkan ia tetap setia di bawah salib Putera-Nya kendati hatinya sebagai seorang ibu telah hancur karena melihat Sang Putera yang dikasihinya mati di kayu salib tanpa ia bisa berbuat apa-apa, layaknya seorang ibu yang setia menjaga anak-anaknya. Namun Bunda Maria tidak pernah kehilangan imannya, tidak ada kata pemberontakan sama sekali yang keluar dari dalam hatinya. Ia tetap memegang teguh imannya kepada Allah. Ia menjalani semua peristiwa hidupnya dengan semangat kerendahan hati dan menjadikan kehendak Allah sebagai hal kompas hidupnya. Kerendahan hati Bunda Maria yang setia kepada kehendak Allah menjadi jaminan peristiwa keselamatan akhirnya terjadi dalam dunia. Dengan demikian kerendahan hati dalam hidup sebagai orang beriman bukanlah sesuatu yang bisa diraih dengan instan melainkan harus melalui proses panjang dalam seluruh peristiwa kehidupan kita sebagai manusia. Selain itu kerendahan hati itu juga berdampak sosial bagi orang lain, keluarga, komunitas dan semua orang ~ Renungan Rekoleksi Kongregasi FSE Januari 2024