Hidup Bahagia (Yolanda FSE)

SEMAKIN BAHAGIA DAN MEMBAHAGIAKAN SESAMA 
(Sr.M. Yolanda Simarmata FSE)

  • Mat 20 : 26 – 28
  • Yak 1 : 2 – 8
  • AD Ordo III Reg  pasal 9 No. 30

Salah satu tulisan dari Paus kita ini yang sangat layak dibaca, dan  akan tetap menjadi permenungan kita, MENJADI MANUSIA YANG BAHAGIA (yang telah alihbahasakan oleh Rm. Ignatius Ismartono, SJ)

“Engkau mungkin memiliki kekurangan, merasa gelisah dan kadangkala hidup tak tenteram, namun jangan lupa hidupmu adalah sebuah proyek terbesar di dunia ini. Hanya engkau yang sanggup menjaga agar tidak merosot.
Ada banyak orang membutuhkanmu, mengagumimu dan mencintaimu.

Aku ingin mengingatkanmu bahwa menjadi bahagia bukan berarti memiliki langit tanpa badai atau jalan tanpa musibah, atau bekerja tanpa merasa letih, ataupun hubungan tanpa kekecewaan.
Menjadi bahagia adalah mencari kekuatan untuk memaafkan, mencari harapan dalam perjuangan, mencari rasa aman di saat ketakutan, mencari kasih di saat perselisihan.

Menjadi bahagia bukan hanya menyimpan senyum, tetapi juga mengolah kesedihan.

Bukan hanya mengenang kejayaan, melainkan juga belajar dari kegagalan.

Bukan hanya bergembira karena menerima tepuk tangan meriah, tetapi juga bergembira meskipun tak ternama.

Menjadi bahagia adalah mengakui bahwa hidup ini berharga, meskipun banyak tantangan, salah paham dan saat-saat krisis.

Menjadi bahagia bukanlah sebuah takdir, yang tak terelakkan, melainkan sebuah kemenangan bagi mereka yang mampu menyongsongnya dengan menjadi diri sendiri.

Menjadi bahagia berarti berhenti memandang diri sebagai korban dari berbagai masalah, melainkan menjadi pelaku dalam sejarah itu sendiri.

Bukan hanya menyeberangi padang gurun yang berada diluar diri kita, tapi lebih dari pada itu, mampu mencari mata air dalam kekeringan batin kita.

Menjadi bahagia adalah mengucap syukur setiap pagi atas mukjizat kehidupan.

Menjadi bahagia bukan merasa takut atas perasaan kita. Melainkan bagaimana membawa diri kita. Untuk menanggungnya dengan berani ketika diri kita ditolak.

Untuk memiliki rasa mantap ketika dikritik, meskipun kritik itu tidak adil.

Dengan mencium anak-anak, merawat orang tua, menciptakan saat-saat indah bersama sahabat-sahabat, meskipun mereka pernah menyakiti kita.

Menjadi bahagia berarti membiarkan hidup anak yang bebas, bahagia dan sederhana yang ada dalam diri kita; memiliki kedewasaan untuk mengaku “Saya Salah”, dan memiliki keberanian untuk berkata “Maafkan Saya”…

Memiliki kepekaan untuk mengutarakan “Aku membutuhkan kamu”; memiliki kemampuan untuk berkata “Aku…”

Dengan demikian hidupmu menjadi sebuah taman yang penuh dengan kesempatan untuk menjadi bahagia.

Di musim semi-mu, jadilah pecinta keriangan. Di musim dingin-mu, jadilah seorang sahabat kebijaksanaan.

Dan ketika engkau melakukan kesalahan, mulailah lagi dari awal. Dengan demikian engkau akan lebih bersemangat dalam menjalankan kehidupan.

Dan engkau akan mengerti bahwa kebahagiaan bukan berarti memiliki kehidupan yang sempurna, melainkan menggunakan airmata untuk menyirami toleransi, menggunakan kehilangan untuk lebih memantabkan kesabaran, kegagalan untuk mengukir ketenangan hati, penderitaan untuk dijadikan landasaan kenikmatan, kesulitan untuk membuka jendela kecerdasan.

Jangan menyerah… Jangan berhenti mengasihi orang orang yang engkau cintai… Jangan menyerah untuk menjadi bahagia karena kehidupan adalah sebuah pertunjukan yang menakjubkan.

Dan engkau adalah seorang manusia yang luar biasa!” ~ Paus Fransiskus

Dalam Injil Matius 20 : 26 – 28, dan saya yakin kita semua telah membaca juga masing-masing, di sana dikatakan: “Tidaklah demikian di antara kamu 1 . Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, p  dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;  sama seperti Anak Manusia q  datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani r  dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan s  bagi banyak orang 2 .”

Salah satu tujuan Allah menjadi manusia adalah : supaya Ia bisa memberikan teladan bagi kita. yaitu : untuk melayani dan bukan untuk dilayani.

Biasanya kalau seorang pejabat datang ke daerah, pasti mereka bukan untuk melayani, tetapi sebaliknya menuntut pelayanan yang baik. Bahwa Ia datang untuk dilayani saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa , tetapi lebih dari itu: justru untuk melayani.

Kalau kita teliti kembali ada banyak ayat kitab suci yang mengatakan bahwa kehidupan Yesus adalah kehidupan yang dipenuhi dengan pelayanan, antara lain:

  • Aku memberitakan Injil, untuk itu aku telah datang (Markus 1 : 38 )

  • Makananku ialah : Melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya (Yoh 4 : 34), artinya pelayanan menjadi rutinitasNya, yang dilakukan dengan bahagia dan senang hati bukan denga berat hati.

Yesus memberikan diriNya dihadapan murid-muridNya sebagai suatu pola/teladan dari dua hal yang sebelumnya dinasehatkan, yaitu : kerendahan hati dan pemberian diri. Ia hidup sebagai pelayan/hamba, dan berkeliling melakukan kebaikan, tetapi mati sebagai suatu korban, dan dalam hal itu Ia melakukan kebaikan yang terbesar dari suatu kebaikan.

Dalam suratnya, bab 1 : 2 – 8, Rasul Yakobus mengatakan : “ Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan,  sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.  Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.  Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, –yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit–,maka hal itu akan diberikan kepadanya.  Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.  Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.  Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya”.

 “ Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh kedalam berbagai-bagai pencobaan…” dalam perjalanan hidup ini kita akan menemui saat dimana kita berhadapan dgn pencobaan yang berat, yg membuat kita susah, berduka dan bergumul. Tetapi sabda Tuhan itu memberikan kita peneguhan ketika pencobaan itu dtg. Yesus mengatakan: Jangan lari dari persoalan. Ketika pencobaan datang kita tidak perlu lari mengindar dan lari, karena akan membuat kita capek, dan pencobaan akan terus mengejar kita. Tetapi dengan mengejar persoalan itu, kita menghadpi dan  menyambutnya dengan langkah bahagia, maka persoalan-persoalan itu akan lari dari hidup kita, sebab pencobaan itu  tidak hanya datang sekali  atau dua kali dalam hidup kita tetapi selama kita hidup kita akan menghadapinya berkali-kali, kita hanya bisa memohon kebijaksanaan dari Tuhan, shg kita tidak hanya mengandalkan pikiran dan kemapuan diri sendiri, yang bisa  melenyapkan kebahagiaan kita.

Menjadi bahagia dan membahagiakan sesama, hal ini  sangat jelas ditekankan oleh Bapa Serafik kita St. Fransiskus untuk para pengikutnya dalam AD Ordo III Reg  pasal 9 nmr 30 yang mengatakan : “Sebagaimana mereka mewartakan damai dengan suaranya, demikian juga hendaknya mereka sendiri memiliki damai itu di dalam hati dengan lebih berlimpah-limpah lagi. Jangan sampai ada orang yang menjadi marah atau tersandung gara-gara mereka; tetapi sebaliknya mereka hendaknya membangkitkan kedamaian, kebaikan hati dan kerukunan dalam semua orang karena kelembutan hati mereka. Sebab Saudara-saudari justru dipanggil untuk menyembuhkan yang terluka, menyatukan yang remuk dan memanggil kembali yang tersesat. Di mana pun mereka berada, hendaklah mereka ingat, bahwa mereka telah menyerahkan diri dan mempercayakan diri mereka kepada Tuhan Yesus Kristus. Maka demi cinta kasih kepada-Nya, mereka harus siap untuk menghadapi musuh, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan; sebab Tuhan berfirman: Berbahagialah mereka yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga

 “Semakin bahagia dan membahagiakan sesama initinya adalah Kerendahan hati yg dapat dilihat dari sifat dan perilaku kita.

Di tengah zaman yang penuh kompetisi seperti sekarang ini, sangatlah sulit untuk menemukan orang yang rendah hati. Bahkan, mungkin telah ada keraguan bagi sebagian orang bahwa kerendahan-hati sudah tidak relevan lagi pada zaman atau situasi dan kondisi saat ini karena dianggap sebagai penghalang keberhasilan, sehingga “rendah hati” mulai ditinggalkan oleh banyak orang. Keinginan sebagian besar orang untuk “menjadi seseorang” (to become someone) dan penolakan untuk menjadi “bukan siapa-siapa” diduga menjadi penyebabnya. Ada dorongan yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk menjadi penting, menjadi berarti dan mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Akibatnya, terjadi persaingan yang sangat ketat untuk menjadi penting dan berarti itu.

Kerendahan-hati sesungguhnya adalah sifat bijak dalam diri seseorang yang membuat ia dapat memposisikan dirinya sama dengan orang lain, tidak merasa lebih pintar, tidak merasa lebih baik, tidak merasa lebih mahir, tidak merasa lebih hebat, dan dapat menghargai orang lain dengan tulus.

Seseorang yang memiliki kerendahan-hati memiliki 2 hal dasar ini: Berani mengakui kesalahan dan  Mau belajar dan diajar.

Bersama,,, kita belajar untuk rendah hati seperti Yesus. Kerendahan hati bukanlah sebuah karunia Roh melainkan karakter yang harus terus dilatih. Dan…..rendah hati bukanlah sebuah kehinaan. Orang yang rendah hati adalah orang yang besar, orang yang rendah hati  mampu menekan egonya dan memilih untuk melayani orang lain. “Barang siapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaknya ia menjadi pelayanmu”