Sejarah Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan


I. Cikal Bakal Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

Tahun 1922 Mgr. Mathias Brans, pemimpin misi OFMCap, ingin mengembangkan misi Katolik di Sumatera, khususnya dibidang pelayanan kesehatan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, beliau meminta tenaga dari Belanda melalui Mgr. Petrus Hopmans, yang akhirnya memilih Kongregasi FSE di Breda. Pada awalnya para suster ini diundang untuk membantu melayani di rumah sakit pemerintah di Sumatera.

Pilihan ini dirasa sangat tepat sesuai dengan motto “Ketika Aku Sakit Melawat Aku (Mat.25:36)”. Di dalam motto ini terkandung suatu kekayaan karunia dari Allah yang terungkap dalam kharisma FSE yakni: “Daya Kasih Kristus Yang Menyembuhkan Orang-orang Kecil dan Menderita Sampai Rela Wafat Di Kayu Salib”. Hal ini sangat didukung karena Suster FSE sudah berpengalaman dalam merawat orang sakit dan pelayanan   kesehatan   (rumah  sakit).

Setelah melalui proses dan perjuangan yang cukup lama, akhirnya tawaran yang dipandang sebagai kehendak Allah, diterima dengan baik oleh Moeder Assisia Pemimpin Kongregasi FSE waktu itu dengan hati terbuka. Dan pada suatu hari di musim gugur tahun 1924 Moeder Assisia mengumumkan bahwa sudah diputuskan Suster FSE akan bermisi ke Nederlands Oost Indie (Indonesia).

Tugas mulia ini pertama-tama ditawarkan kepada semua suster. Setelah melalui proses yang cukup lama dan dengan campur tangan Allah, akhirnya 16 Juli 1924 diputuskan 4  (empat) suster akan diutus ke Indonesia,  yaitu :  Sr. Pia  (sebagai  moeder  =  pemimpin  komunitas),  Sr. Philotea, Sr. Gonzaga dan Sr. Antoinette  sebagai anggota.

Didukung oleh perhatian, cinta dan doa-doa para saudara-saudaranya di negeri Belanda, keempat suster ini berangkat dengan gembira dan penuh semangat untuk membagikan kasih Allah ke Indonesia. Tanggal 29 Agustus, kapal Johan de Witt yang membawa keempat suster ini bertolak dari Belanda dan tiba di Indonesia (Medan) tanggal 29 September 1925.

Pada hari-hari pertama mereka belum dapat langsung tinggal di rumah sendiri karena perlu beradaptasi dan kesulitan berbahasa Indonesia. Maka, untuk sementara mereka menumpang di rumah suster SFD Jalan Pemuda Medan. Hingga suatu hari Pastor de Wolff menyampaikan suatu berita buruk kepada keempat suster pioner itu, bahwa rumah sakit pemerintah yang pernah berjanji akan menerima mereka bekerja sebagai karyawan, sekarang meralat keputusan itu. Mereka tidak bersedia menerima kehadiran biarawati katolik bekerja di sana. Berita ini bagaikan pukulan teramat berat bagi moeder Pia dan ketiga suster yang lainnya. Apa yang mereka bayangkan ketika berangkat dari negeri Belanda sungguh berbeda dengan kenyataan yang mereka alami. Bahkan secara spontan Sr. Philotea memberi respon agak emosional: “kalau begitu kita pulang saja ke negeri Belanda, di sana banyak hal yang bisa kita lakukan”. Sungguh berat bagi mereka menerima kenyataan ini.

Mengantisipasi situasi ini, dengan segera keempat suster ini mengadakan rapat kilat; bagaimana mereka harus bersikap. Kembali ke negeri Belanda bukanlah keputusan yang berkenan pada Allah, karena sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus melayani di rumah sakit pemerintah. Kita harus mampu memulai dari dasar dan berdiri sendiri. Itulah tekad dan keputusan Rapat mereka seperti itu.

Para suster langsung memulai misinya melayani orang sakit dari rumah ke rumah, dan tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana di Jl. Wasir no. 8  (sekarang Jl. Kolonel Sugiono).  Dari hari ke hari banyak tantangan yang dihadapi, namun mereka tetap melakukan apa saja yang bisa membantu orang-orang sakit. Mereka bersedia dipanggil melayani ke mana saja, bahkan bila dibutuhkan mereka tidak enggan mendatangi dan merawat  orang  sakit  dari  rumah  ke  rumah.  Kehadiran  dan pelayanan seperti itu sangat dibutuhkan masyarakat, para suster sering dipanggil dan selalu siap-siaga untuk dipanggil, kapan dan ke mana saja. Banyak orang-orang sakit datang, hingga suster-suster ini hampir kehabisan waktu mulai pagi sampai malam harinya. Pada malam hari mereka berkumpul dan bersatu menimba kekuatan dari kebersamaan yang akrab di komunitas. Di tengah-tengah kesibukan yang demikian itu mereka tetap setia membina relasi dengan Tuhan, entah itu lewat doa pribadi maupun doa bersama.

Setelah 8 bulan, pelayanan semakin menuntut sehingga rumah kontrakan tersebut dirasa kurang memadai. Maka suster-suster membeli rumah di Jl. Padang Bulan (sekarang Jl. S. Parman). Rumah baru tersebut, meskipun sederhana tetapi cukup luas sehingga sebagian bisa digunakan untuk suster-suster (biara), dan sebagian lagi untuk penampungan orang sakit yang sedang dirawat.

Pada kesempatan kunjungan Moeder Asisia (Pemimpin Para Suster waktu itu) tahun 1928, muncul rencana untuk mendirikan Rumah Sakit. Dalam waktu yang relatif singkat persiapan untuk itu segera dilaksanakan. Daerah Polonia dipilih sebagai daerah paling strategis, karena berada di jantung kota dan daerahnya cukup luas untuk pengembangan selanjutnya.

Prosesnya sangat singkat, 11 Februari 1929 pembangunan Rumah Sakit dimulai dengan peletakan batu pertama.

Setelah peletakan batu pertama selesai, Moeder Assisia kembali ke negeri Belanda, dan secara bertahap mengutus para misionaris baru ke Indonesia.  Pada bulan Mei 1930 bangunan rumah sakit hampir selesai dan sebagian sudah dapat digunakan, sambil tetap dilakukan pembenahan di sana-sini. Rumah sakit baru selesai seluruhnya pada bulan November 1930. Namun, dalam prakteknya sejak Mei 1930 rumah sakit baru ini  sudah menerima pasien rawat inap sebanyak 25 (duapuluh lima) orang. Tanggal 19 November 1930 rumah sakit tersebut diberkati dan dibuka secara resmi oleh P. Doomen. Sejak peresmian rumah sakit ini,  semua suster pindah dari Padang Bulan dan tinggal di rumah suster Jl. Imam Bonjol 38, yang dibangun di kompleks rumah sakit (hanya dibatasi oleh dinding). Sampai sekarang rumah tersebut menjadi rumah Induk FSE di Indonesia.   Pada acara peresmian rumah sakit, semua orang tidak yakin bahwa para biarawati itu, sanggup mengelola rumah sakit yang cukup bagus dan besar pada zamannya. Mereka sangsi dan bertanya-tanya; “Apalah yang dapat dilakukan para perempuan ini ??? Apakah mereka sanggup meneruskannya kelak ???” Memang, apalah daya manusia, apalagi perempuan. Namun mereka tidak berputus asa mendengar komentar-komentar sumbang yang meragukan kemampuan mereka, justru semakin optimis untuk maju dengan mempercayakan segala sesuatunya pada Penyelenggaraan Ilahi. Apalagi setelah dr. Stohl, yang diangkat sebagai pemimpin rumah sakit (istilah direktur pada waktu itu belum ada), dengan yakin mengatakan “Sepanjang pengetahuan saya belum pernah ada Rumah Sakit Katolik yang bangkrut”.

Keyakinan para hamba Tuhan ini sungguh-sungguh menjadi kenyataan. Karena mereka sudah berpengalaman di bidang kesehatan terutama mengelola rumah sakit,  sehingga  pengelolaan  rumah sakit baru ini berjalan dengan baik dan berkembang terus.

Tahun 1933 Moeder Assisia untuk kedua kalinya datang kunjungan ke Indonesia. Kunjungan ini sangat berarti bagi seluruh kongregasi, karena membawa suatu perubahan besar. Sr.Pia yang sudah 9 (sembilan) tahun menjadi moeder (pemimpin) digantikan oleh Sr. Insfrida, suster yang termuda di komunitas saat itu. (Sr. Insfrida menjadi pemimpin sampai pendudukan Jepang, sekitar tahun 1946).

 

II. Rumah Sakit Santa Elisabeth di Masa Penjajahan

Tahun-tahun selanjutnya (zaman penjajahan Jepang), kehidupan para suster sangat menggetirkan. Selama masa penjajahan, para suster berulang-ulang masuk keluar kamp tahanan. Rumah Sakit juga diambil tentara Jepang untuk dijadikan markas tentara. Suster-suster terpaksa meninggalkan rumah sakit dan mengungsi ke tempat lain.

Pertengahan tahun 1947 keadaan rumah sakit masih tetap berantakan, dan dikuasai oleh tentara sekutu (Inggris). Para suster tinggal di rumah kontrakan Jl. Gajah Mada. Pada akhir tahun 1947 suster-suster diperbolehkan tinggal kembali di biara. Kendati demikian rumah sakit masih tetap berada di bawah kekuasaan Inggris. Proses pengembalian rumah sakit dari tangan Inggris kepada Suster FSE tidak gampang. Untuk sementara waktu suster-suster bekerja di rumah sakit sebagai karyawan biasa dan mendapat gaji seperti karyawan lainnya. Tahun 1946-1950 kepemimpinan rumah sakit diambil alih oleh DVG (Departemen Volks Gezondheid = Dinas Kesehatan Belanda).

Bulan Februari 1948,  Kapel dan rumah sakit diserahkan oleh Inggris kepada DVG, dengan penyerahan tersebut sebenarnya secara hukum rumah sakit sudah dikembalikan kepada Suster FSE, tetapi secara operasional masih ditangani oleh Dinas Kesehatan Belanda. Dinas kesehatan ini tetap aktif berfungsi di rumah sakit sampai 4 Mei 1950.

Berkat kemurahan Tuhan dan  perjuangan yang gigih dari suster-suster dan dr. Tengku Mansoer yang berunding dengan Departemen Volks Gezondheid (DVG), Rumah Sakit akhirnya dikembalikan pada tanggal 4 Mei 1950.  Sejak saat itu, Sr. Beatrix  diangkat menjadi pemimpin Rumah Sakit, dan  bersama suster-suster, serta sejumlah perawat awam berjuang mengembangkan rumah sakit.