Komunitas Sebagai Penyembuh

KOMUNITAS SEBAGAI WADAH SEMBUH DAN MENYEMBUHKAN

Mrk. 10:46–52
Konstitusi Psl 4 no. 26-27
AD Ordo III Regular Psl 9 no. 31

Hidup berkomunitas merupakan ciri utama sebagai penanda bagi setiap Religius. Jika komunitas sebagai ‘Penanda’ maka keberadaan komunitas menjadi wadah bagi  setiap anggota untuk mengalami keselamatan dan sukacita. Komunitas sebagai wadah dimana setiap anggota dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan talenta yang dititipkan Tuhan bagi kita untuk dikembangkan (Kont. Psl 4 art 26-27). Maka komunitas yang dapat menjadikan seseorang bertumbuh dan berkembang adalah komunitas yang positif, saling membangun, saling mendukung dan didalam komunitas inilah setiap pribadi terlibat aktif dan merasa disapa, disentuh dan disembuhkan oleh Tuhan sendiri lewat kehadiran dan kebersamaan dalam komunitas sehingga mendorongnya untuk  berani menyembuhkan sesama saudari yang dihadiahkan Tuhan baginya dengan segala keunikan masing-masing, karena didalam Kristus kita disatukan menjadi satu komunitas dan Kristuslah kepala komunitas kita.
MENGIKUTI alur bagaimana si buta menjadi beriman sungguh luar biasa. Pada awalnya dia berada di pinggir jalan, akhirnya berada di tengah jalan. Awalnya tidak dipedulikan, dipinggirkan, diabaikan, dan akhirnya menjadi pusat perhatian Yesus. Ada dinamika iman, bergerak dari pinggir ke pusat.
Markus mengisahkan kepada kita tentang penyembuhan orang buta. Ada dua adegan penting dari kisah penyembuhan orang buta ini. Pertama, Dari Tengah Ke Pinggir. Orang buta dalam cara pandang masyarakat Yahudi adalah orang yang tidak diperhitungkan, tidak  diterima dalam masyarakat (sakit mereka dikaitkan dengan dosa, dikutuk, dll), orang yang terabaikan dan terpinggirkan. Orang yang sengaja dipinggirkan dari tengah masyarakat pada umumnya. Orang ini berdiri di pinggir jalan (mereka hanya mampu berada di pinggir), bukan berada di tengah, di titik pusat, titik sentral. Mengapa dia berada di pinggir jalan? Jawabannya sederhana, karena dia bukan menjadi pusat perhatian orang. Dia adalah orang yang terabaikan dan terpinggirkan. Kedua, Dari Pinggir Ke Tengah. Dari pinggir jalan ia berseru, YESUS ANAK DAUD KASIHANILAH AKU. Pekikan ini ditentang dan ditantang orang banyak yang menyuruhnya untuk diam. Larangan orang banyak tidak menyurutkan hasrat imannya untuk berjumpa dengan Yesus, melainkan semakin keras ia berseru kepada Yesus. Pekikan ini didengar oleh Yesus, dan IA menyuruh orang untuk memanggilnya. Dari pinggir ia dipanggil ke tengah, menjadi pusat, menjadi sentral, dan menjadi fokus perhatianNya. Dari pinggir aku berpekik dan IA mendengarkan pekikanku maka aku jadi sembuh.
Pekikan orang buta itu didasari oleh iman yang teguh kepada Yesus. Sekalipun ia dilarang, ditentang dan ditantang, tapi ia tetap teguh dan beriman kepada Yesus. Pengalaman perjumpaan ini mengubah status sosialnya dalam masyarakat Yahudi yakni dari pinggir ke tengah, menjadi pusat perhatian Yesus. Kita pun diajak untuk tetap memelihara iman kita, sekalipun ditantang dan ditentang, kita tetap teguh beriman kepada Yesus. Ketika kita berseru dan berjumpa dengan-Nya, kita akan mengalami kesembuhan yang sejati dan pengalaman disembuhkan menghantar kita untuk hadir sebagai penyembuh bagi yang lain. Seperti Bartimeus yang sembuh dan mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya untuk mewartakan keselamatan kepada semua orang ~ Rekoleksi Suster FSE – Jan 2023